Masyarakat asli suatu daerah umumnya merupakan konservasionis alami. Mereka memiliki strategi konservasi sumber daya alam hayati dan lingkungan yang berkelanjutan karena kehidupannya sangat tergantung dengan alam. Salah satu contoh masyarakat asli yang sangat peduli dengan lingkungan hidup adalah suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Suku Dayak memiliki kebiasaan pembukaan lahan yang unik, yakni dengan cara perladangan berpindah. Namun banyak pihak yang mengkambinghitamkan sistem perladangan berpindah sebagai faktor utama degradasi dan kebakaran hutan yang terjadi di Pulau Kalimantan. Hal ini perlu ditinjau kembali, mengingat sistem perladangan berpindah telah ribuan tahun dilaksanakan dan hanya memiliki sedikit berpengaruh terhadap alam.
Pulau Kalimantan sebagai pulau ketiga terbesar di dunia, memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi karena merupakan habitat bagi 15.000 spesies. Kekayaan ini disebabkan oleh adanya beberapa ekosistem yang berbeda. Sebagian besar daerah dataran rendah pulau ini ditutupi oleh hutan hujan, rawa dan hutan mangrove sedangkan daerah dataran tinggi (lebih dari 1000 mdpl) ditutupi oleh hutan hujan, terutama pada bagian tengah dan timur laut.
Suku Dayak Kalimantan merupakan nama kolektif untuk kelompok suku asli Pulau Kalimantan. Suku Dayak memiliki banyak anak suku yang berbeda dialek, kebiasaan, hukum adat dan budaya pada masing-masing daerah teritorinya, namun karakteristik penampilan secara umum dari mereka sama dan mudah dikenali (Grimes, 2000). Setiap anak suku Dayak memiliki penampilan fisik, arsitektur, bahasa, tradisi lisan, kebiasaan, struktur sosial, senjata, teknologi pertanian dan pandangan hidup yang sama (Davis, 1993). Secara umum, mereka menyadari bahwa sumber daya lingkungan sangat terbatas, sehingga mereka memperlakukan lingkungan dengan bijaksana dengan cara membangun strategi berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati dan lingkungan sejak ribuan tahun yang lalu.
Masyarakat Dayak umumnya melakukan sistem ladang berpindah untuk mengelola hutan karena tanah Kalimantan miskin mineral, dimana fosfor menjadi faktor pembatas bagi budidaya tanaman pangan. Di hutan tropis, fosfor tersimpan dalam pohon sehingga perlu pembakaran hutan untuk melepaskannya. Hara yang terlepas dimanfaatkan untuk penanaman padi gogo, setelah itu dilakukan lagi pembukaan lahan baru dengan cara yang sama sedangkan ladang lama yang ditinggalkan akan menjadi hutan kembali (selama 20-25 tahun). Sistem ladang berpindah ini biasanya digabungkan dengan sistem agroforestri (hutan multikultur) dimana ladang yang ditinggalkan ditanami berbagai pohon yang dapat terintegrasi pada ekosistem hutan. Pembukaan lahan yang teratur ini mendorong terbentuknya mozaik-mozaik lahan berdasarkan umur suksesi dan keanekaragaman hayati yang beragam.
Saat ini sistem lahan berpindah sering dikambinghitamkan sebagai penyebab terjadinya degradasi dan kebakaran hutan Kalimantan, padahal jika dipelajari sistem ini justru memberikan banyak manfaat bagi kelestarian hutan Kalimantan. Pembakaran yang dilakukan oleh Suku Dayak juga tidak sembarangan karena mereka selalu membatasi area pembakaran sehingga api tidak menyebar luas.
KESIMPULAN
Pengetahuan mengenai budaya tradisional sangat berguna untuk memelihara lingkungan karena peningkatan konsumsi sumber daya alam terbatas yang dan jumlah populasi. Sistem ladang berpindah oleh suku asli Dayak di Kalimantan tidak hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tapi juga untuk memelihara keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Ironisnya, konsesi hutan dan penanaman pertanian monokultur secara signifikan dalam dalam jumlah besar yang bertentangan dengan pemeliharaan ekosistem dan mengurangi keanekaragaman hayati justru dilindungi oleh pihak berwenang. Hal ini karena sistem ladang berpindah dianggap tidak produktif dan tidak sesuai dengan pertanian modern yang memiliki produktifitas tinggi, hasil panen terukur, massal dan kontinue serta menguntungkan di pasaran. Oleh karena itu sistem perladangan berpindah harus dikombinasikan dengan sistem agroforestri agar lebih produktif.
Diresume dari Jurnal "Review: Strategi Konservasi Keanekaragaman Hayati dalam Perspektif Masyarakat Asli; Studi Kasus Mengenai Perladangan Berpindah Suku Dayak di Kalimantan (ditulis oleh Ahmad Dwi Setyawan)
Diresume dari Jurnal "Review: Strategi Konservasi Keanekaragaman Hayati dalam Perspektif Masyarakat Asli; Studi Kasus Mengenai Perladangan Berpindah Suku Dayak di Kalimantan (ditulis oleh Ahmad Dwi Setyawan)
masyarakat di daerah yang jauh dari kota ternyata lebih ramah lingkungan dari yang merasa berpendidikan di kota...
BalasHapusbenar. Aplikasi dari ilmu sederhana yang dimiliki jauh lebih penting daripada sertifikat kelulusan dengan nilai A+ semua, tapi sombong dan tidak aplikatif.
BalasHapus:)